Mungkinkah Teknologi CCS PLTU Jawa 9 – 10 Mampu Meningkatkan Efisiensi di Indonesia?
- Bisnis
- October 1, 2024
- No Comment
- 2
Seiring dengan meningkatnya tuntutan global untuk mengurangi emisi karbon, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Banyak pihak yang mempertanyakan, apakah solusi seperti teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) benar-benar dapat diterapkan secara efektif di PLTU Indonesia, atau justru akan menjadi beban biaya tambahan bagi sektor energi? Mengingat saat ini, PLTU masih menjadi salah satu penyedia listrik paling murah di Indonesia. Lalu, apakah adaptasi teknologi CCS PLTU Jawa 9 – 10 benar-benar sepadan dengan investasi yang dikeluarkan?
CCS: Solusi Atau Masalah Baru untuk PLTU Indonesia?
Teknologi CCS PLTU Jawa 9 – 10 pada dasarnya didesain untuk menangkap emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU dan menyimpannya di bawah tanah, sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Teknologi ini sering disebut-sebut sebagai “penyelamat” untuk pembangkit berbahan bakar fosil seperti PLTU. Namun, ada beberapa tantangan besar yang perlu dipertimbangkan sebelum teknologi ini diimplementasikan secara luas di Indonesia.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR), menyoroti bahwa hanya PLTU yang memiliki teknologi modern seperti Ultra Super Critical (USC) yang layak dipertimbangkan untuk adaptasi CCS. PLTU dengan teknologi lama, terutama yang berusia lebih dari 20 tahun, dinilai tidak ekonomis untuk dilengkapi dengan CCS. Ini karena efektivitas penangkapan karbon pada PLTU tua cenderung rendah dan biaya investasi yang tinggi dapat meningkatkan biaya pokok produksi listrik (BPP).
Apa Dampak CCS pada Biaya Produksi Listrik?
PLTU yang menggunakan teknologi USC, seperti PLTU Jawa 9 & 10, dapat mengintegrasikan CCS secara lebih efektif. Namun, biaya implementasi teknologi CCS pada PLTU tersebut tetap tidak murah. Menurut kajian IESR, biaya untuk menerapkan CCS pada seluruh PLTU di Indonesia bisa mencapai miliaran dolar. Jika diterapkan secara luas, dikhawatirkan CCS justru akan membuat biaya listrik melonjak dan mengganggu stabilitas harga energi di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menekankan bahwa PLTU tetap dapat beroperasi jika dilengkapi dengan CCS. Namun, bagaimana jika CCS hanya menjadi solusi jangka pendek dan tidak mampu memberikan pengurangan emisi yang signifikan? Bagaimana pula dampaknya terhadap daya saing industri energi Indonesia?
Alternatif: Meningkatkan Efisiensi PLTU Tanpa CCS?
Sebagai alternatif, beberapa ahli menyarankan untuk mengoptimalkan efisiensi PLTU tanpa harus bergantung pada teknologi CCS yang mahal. Misalnya, penerapan Clean Coal Technology (CCT) dan co-firing dengan biomassa dapat membantu menurunkan emisi tanpa menambah beban investasi besar.
Beberapa PLTU di Indonesia telah mulai menerapkan teknologi co-firing dengan bahan bakar alternatif seperti amonia atau hidrogen hijau. Ini adalah langkah strategis yang bisa dijadikan percontohan untuk pembangkit lain yang belum siap beralih ke teknologi CCS. Dengan memanfaatkan co-firing, PLTU dapat tetap beroperasi dan menyuplai listrik secara andal tanpa menambah beban biaya besar dari implementasi CCS.
PLTU Jawa 9 & 10: Contoh Nyata Integrasi Teknologi Ramah Lingkungan
PLTU Jawa 9 & 10 menjadi contoh nyata bagaimana penerapan teknologi ramah lingkungan bisa dilakukan secara efektif. Menggunakan teknologi Ultra Super Critical (USC) dan Selective Catalytic Reduction (SCR), PLTU ini tidak hanya memiliki efisiensi lebih tinggi, tetapi juga siap diadaptasi dengan bahan bakar alternatif seperti amonia dan hidrogen. Hal ini memberikan sinyal bahwa dengan pendekatan yang tepat, PLTU di Indonesia masih bisa berkontribusi dalam target pengurangan emisi tanpa harus mengorbankan keekonomian.
Peran Pemerintah dalam Mendorong Transisi Energi PLTU
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong penerapan teknologi ramah lingkungan di PLTU. Kebijakan pensiun dini PLTU yang tertuang dalam Perpres 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pembangkit berbahan bakar fosil.
Namun, penerapan pensiun dini PLTU ini tidak semudah yang dibayangkan. Selain membutuhkan biaya yang besar, pensiun dini juga menimbulkan risiko defisit pasokan listrik jika tidak ada pembangkit pengganti yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun peta jalan yang jelas dalam penerapan CCS dan teknologi energi lainnya untuk memastikan transisi energi berjalan mulus tanpa mengorbankan stabilitas pasokan listrik nasional.
Kesimpulan: Apakah CCS Solusi Tepat untuk PLTU di Indonesia?
Meskipun teknologi CCS PLTU Jawa 9 – 10 menjanjikan pengurangan emisi karbon yang signifikan, penerapannya di PLTU Indonesia perlu dipertimbangkan dengan matang. PLTU yang sudah menggunakan teknologi modern seperti USC layak dipertimbangkan untuk CCS, sementara PLTU lama mungkin lebih cocok dioptimalkan dengan teknologi efisiensi lainnya.
Bagi Indonesia, kunci keberhasilan penerapan CCS terletak pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara target pengurangan emisi dan keekonomian listrik. Dengan kebijakan dan investasi yang tepat, PLTU di Indonesia dapat berperan dalam mendukung transisi energi bersih yang berkelanjutan tanpa menambah beban biaya yang berlebihan.